Mengapa Menolak Khabar Ahad?
MENGAPA MENOLAK KHABAR AHAD? (KAJIAN EMPIRIS DAN HISTORIS)
Oleh
Ustadz Zainal Abidin, Lc
Pengantar
Segala puji hanya milik Allah Rabb semesta alam, yang menurunkan Al Qur’an Al Karim sebagai petunjuk dan peringatan bagi seluruh makhluk dari kalangan jin dan manusia.
Semoga shalawat dan salam tetap tercurah kepada Nabi Muhammad sebagai utusan Allah dan manusia sempurna ruhani dan akalnya, tinggi kedudukannya, serta mulia budi pekerti dan akhlaknya, sehingga ucapan dan tindakannya menjadi panutan dan suri tauladan.
Membongkar kedok aliran sesat dan hizbiyah, sudah menjadi kebiasan dan tradisi ulama Salaf, untuk membentengi umat dari pengaruh buruk berbagai pemikiran sesat, serta membuka wacana berfikir secara ilmiyah dan obyektif, sehingga umat Islam bersikap kritis, selektif dan komitmen pada ajaran dan manhaj yang benar.
Hudzaifah berkata : Orang-orang bertanya kepada Rasulullah tentang kebaikan, sementara aku bertanya kepada Beliau tentang keburukan, karena khawatir keburukan itu menimpaku.
Termasuk bahaya pemikiran sesat yang banyak meracuni para pemuda dan aktifis Islam, yaitu adanya penolakan terhadap hadits khabar ahad dalam masalah aqidah yang dimotori oleh Neo Inkar Sunnah.
Kelompok yang mengingkari Sunnah, terbagi menjadi tiga bagian :
- Kelompok yang mengingkari Sunnah secara total, global dan rinci. Kelompok ini menolak Sunnah sebagai salah satu dasar syari’at Islam. Alasannya, bahwa Al Qur’an bersifat universal mencakup segala persoalan apa saja, sehingga tak perlu kepada hadits yang perawinya adalah manusia biasa, punya sifat salah dan lupa.
- Kelompok yang menolak Sunnah dengan membawa hukum baru. Mereka hanya menerima Hadits atau Sunnah yang isinya menjelaskan Al Qur’an.
- Kelompok yang hanya menolak hadits-hadits ahad, sekalipun perawinya adil dan memiliki hafalan kuat. Kelompok ini hanya menerima hadits Rasulullah yang mutawatir.
Penolakan Khabar Ahad Dari Sisi Historis
Memang benar, telah terjadi silang pendapat diantara para ulama, apakah khabar ahad menunjukkan ilmu atau dzann.
Pendapat Pertama : Khabar ahad menunjukkan ilmu yang yakin secara mutlak, baik didukung qarinah (indikasi) maupun tidak. Pendapat ini merupakan salah satu pendapat Imam Ahmad.
Pendapat Kedua : Khabar ahad menunjukkan dzann secara mutlak, baik ditopang oleh beberapa indikasi maupun tidak. Secara umum, pendapat ini merupakan pendapat para ulama ushul, dan diikuti oleh sebagian Ahli Hadits seperti Imam Nawawi.
Pendapat Ketiga : Khabar ahad menunjukkan ilmu yang yakin, apabila ditunjang oleh beberapa indikasi. Pendapat ini adalah pendapat kelompok penganut madzhab dan Ahli Ushul Fikih yang Imam Al Amidi dan Al Juwaini.
Imam Asy Syaukani dalam kitab Irsyadul Fuhul berkata: “Ketahuilah, perselisihan pendapat diantara para ulama tentang khabar ahad, bahwa hadits ahad menunjukkan ilmu yang yakin atau dzan, terikat oleh syarat, yaitu bila hadits tersebut tidak ada hadits lain yang memperkuatnya. Namun bila ada hadits yang memperkuatnya atau hadits tersebut masyhur, maka tidak ada perselisihan pendapat diantara ulama. Begitu pula tidak ada perselisihan diantara ulama, bila khabar ahad memberi konsekwensi ijmi dalam pengalaman hukumnya, maka hadits itu berfaidah ilmu.
Polemik penolakan khabar ahad masih menjadi perdebatan sengit di kalangan orang awam. Bahkan sikap penolakan tersebut sudah menjadi bagian aqidah wala’ dan bara’ bagi mereka, dan menjadi tolok ukur untuk memusuhi atau memihak orang lain.
Penyebab utama bersikerasnya mereka dalam menolak khabar ahad, dikarenakan sikap mereka yang hanya mengekor dan membeo kepada penolakan keras yang dilakukan Taqiuddin An Nabhani yang meninggal tahun 1977 M. Dia adalah tokoh Hizbut Tahrir yang sangat fanatik terhadap madzhab Hanafi Maturidi.
Beberapa imam ahli manthiq dan ilmu kalam yang terdahulu, mempunyai pendapat yang serupa (yaitu menolak khabar ahad), seperti : Ar Razi, Al Juwaini dan Al Ghazali.
Jadi, dalam masalah ini yang menjadi asal mula perbedaan pendapat bukanlah tentang khabar ahad, namun tentang madzhab Asy’ari. Oleh karena itu Pokok permasalahannya adalah tentang madzhab Asy’ari Maturidi, baru tentang khabar ahad.
Sikap Mereka Sangat Dipengaruhi Ahli Kalam
Begitulah gaya mereka dalam menolak khabar ahad, tidak jauh dari gaya Ahli Kalam yang membodohi umat manusia dengan perkataannya tentang hadits ahad, seakan-akan mereka Ahli Hadits, padahal tidak mengetahui seluk-beluk hadits[1]. Dengan sikap meremehkan, sebetulnya mereka tidak patut dan tidak dapat membedakan antara hadits mutawatir dan hadits ahad, karena mereka hanya tekun mempelajari manthiq dan filsafat, bukan kitab-kitab hadits.
Ar Razi menuturkan hadits “Dajjal adalah buta sebelah dan Allah tidak buta sebelah,” kemudian dia berkata: Itu adalah sangat jauh kalau permulaan perkataan ini dari Rasul” dan dia menyangka bahwa riwayat “Sehingga Rabb meletakkan kakinya” adalah dhaif.[2]
Demikian ini kebodohan dan kurang-adabnya kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan mengada-ada dalam masalah hadits.
Al Juwaini menyangka bahwa Al Hasywiyah berpegang kepada hadits “Sesungghnya Allah menciptakan Adam dengan bentukNya” dan dia mengira bahwa hadits ini tidak tertulis dalam kitab shahih[3], padahal hadits ini terdapat di dalam Shahih Al Bukhari dan Syahih Muslim[4].
Dia menyangka, hadits tentang turunnya Allah tidak mutawatir, sehingga batil, dan seandainya dia berpaling dari semua hadits ahad dan tidak perlu memperhitungkannya, tentu akan lebih tepat.
Kemudian dia membantah hadits “Iman ada tujuh dan tujuh puluh cabang”, dan dia menyangka bahwa hadits itu perlu ditakwil karena riwayatnya ahad[5], padahal banyak berdalil dengan hadits ahad dalam menetapkan aqidah Ash Shirath, Haudl dan Mizan…
Al Ghazali menyangka, kebanyakan hadits tentang tasybih (penyerupaan sifat Allah) adalah tidak shahih. Inilah yang membuat Al Hafizh Ibnu Hajar berterus terang, bahwa dia dan Al Juwaini tidak mengerti tentang kitab-kitab hadits yang masyhur, lebih-lebih selainnya.[6]
Inilah pengakuan Al Ghazali, dia berkata: ”Pengetahuanku tentang hadits bercampur aduk dan rendah”[7].
Asy Syaikh Muhammad bin Darwisi Al Hut memang benar ketika berterus terang, bahwa Al Ghazali tidak dapat dipertanggung jawabkan dalam hadits, karena dia menyebutkan dalam kitab Al Ihya’ sejumlah hadits palsu[8].
Adapun Ibnu Furik, adalah orang yang paling tidak mengerti tentang masalah hadits. Al Hafizh Ibnu Hajar berkata: “Ibnu Furik telah melewati batas dan menetapkan kalimat Ar Rijl (kaki Allah) tidak ada menurut ahli riwayat. Sungguh pernyataan itu ditolak, karena kalimat tersebut terdapat di dalam shahihain (Al Bukhari dan Muslim)”[9].
Mereka itulah sekelompok orang yang menyangka bahwa hadits ahad ditolak dalam masalah aqidah, seraya menolak apa yang tidak ditolak oleh Ahmad dan Asy Syafi’i.
Dengan demikian, Anda mendapatkan kejelasan bahwa mereka berada di jalan lain dan Ahli Hadits berada di jalan lain.
Ahli Hadits Adalah Orang yang Paling Hati-hati, Bukan Ahli Kalam
Mereka menyangka, bahwa ulama mereka sangat berhati-hati dalam berdalil dengan hadits yang berbicara tentang sifat, maka kelompok Asy’ariyah mensyaratkan qath’i dan tsubut, yaitu mutawatir [10].
Lantas siapakah orang yang pertama-tama mereka anggap sangat berhati-hati? Menurut mereka, ternyata adalah Jahmiyah dan Mu’tazilah.
Ulama yang dianggap berhati-hati hanyalah sekelompok orang yang menafikan sifat yang berdalih hati-hati, supaya dapat sampai kepada penafian sifat Allah yang disifati oleh Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang bertentangan dengan kaidah ilmu kalam. Al Hafizh Ibnu Hajar menuturkan, bahwa kelompok Mu’tazilah mengingkari kebenaran hadits yang berbicara tentang sifat, seperti turun dan lain sebagainya[11].
Syubhat penolakan terhadap hadits ahad, tidak lain hanyalah hembusan pemikiran beracun berasal dari persekutuan antara beberapa kelompok sesat, seperti kaum filosof, Jahmiyah dan Mu’tazilah yang mengemukakan bahwa kebanyakan hadits yang berkaitan dengan sifat Allah adalah dari hadits ahad. Mereka berusaha mencari jalan keluar untuk diri mereka, maka muncullah perkataan bahwa hadits ahad ditolak, khabar ahad bukan dalil, dan tidak dapat dijadikan sebagai dalil.
Hakikatnya, Pemikiran Mereka Mengadopsi Mu’tazilah
Mula pemikiran haramnya mengambil hadits ahad dalam masalah aqidah, dan wajib mengambilnya dalam masalah hukum, berawal dari kaum Mu’tazilah sebelum Asy’ariyah; karena Al Qadhi Abdul Jabbar (tokoh Mu’tazilah) telah berkata: “Diperbolehkan mengambil hadits ahad jika sampai kepada kita dengan syarat-syaratnya, namun tidak boleh diambil untuk masalah aqidah”[12].
Abdul Qadir Al Baghdadi, yang dahulunya sebagai tokoh Mu’tazilah yang mengingkari hadits ahad, dia menyatakan : “Tujuan pengingkaran terhadap hadits ahad, hanyalah untuk mengingkari kebanyakan hukum syari’ah, karena kebanyakan hukum fiqih berdiri di atas hadits ahad” [13].
Inilah yang dikatakan Al Baghdadi, dikembalikan kepadanya dan kepada sahabat-sahabatnya dari kelompok Asy’ariyah yang berpegang kepada setengah perkataan Mu’tazilah. Mereka mengharamkan hadits ahad dalam masalah aqidah, dan mewajibkannya dalam masalah hukum.
Maka, katakan kepadanya perkataan yang serupa dengan yang diarahkan kepada Mu’tazilah : “Apa yang Anda kehendaki, wahai kelompok Asy’ariyah- mudah-mudahan Allah mengampuni Anda- dengan keingkaran Anda terhadap hadits ahad dalam masalah aqidah, tidak lain hanyalah keinginan untuk mengingkari hadits tentang sifat ketuhanan, lebih-lebih sifat perbuatan, karena sesungguhnya kebanyakan masalah sifat ketuhanan berdiri di atas hadits-hadits ahad!?”
Kemudian perkataan mereka ”hadits ahad tidak dapat dipertanggungjawabkan dalam masalah aqidah”, itu sebenarnya sudah termasuk aqidah, karena mereka mensyaratkan, hendaknya aqidah berdiri di atas nash yang qathi’, jelas, dan sanad mutawatir, dan pendapat akal tidak boleh bercampur tangan dalam masalah aqidah. Lalu mana dalil dari firman Allah atau sabda RasulNya atau ulama Salaf atas aqidah ini? Di mana hadits mutawatir yang Anda yakini dalam masalah itu? Ini cukup untuk membatalkan semua dalil-dalil Anda.
[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi Khusus/Tahun VIII/1425H/2004M. Penerbit Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo-Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-7574821]
_______
Footnote
[1] Lihat perkataan Ibnu Hajar tentangnya dalam Tahdzib At Tahdzib (4/426-429).
[2] Asas At Taqdis, 159 dan 186.
[3] Al Irsyad, 152-153.
[4] Lihat Al Bukhari (6.227) dan Muslim (6.212).
[5] Lihat Al Irsyad, 161-399.
[6] Lihat At Talkhish Al Habir (1/256, 2/19, 50 dan 275) dan lihat Al Iqtishad Fi Al I’tiqad, oleh Al Ghazali, 177, Cetakan Maktabah Al Jundi, tahqiq Abu Al ‘Ala.
[7] Qanun Ta’wil, 16. Dan lihat dalam Ihya, karya Al Ghazali.
[8] Asna Mathalib, halaman 572.
[9] Fathul Bari, 8/596
[10] At Tauhid, oleh Al Maturidi, halaman 8.
[11] Fathul Bari (3/30). Sikap ini seperti sikap Al Juwaini.
[12] Syarah Ushul Al Khamsah, 769.
[13] Firaq Bainal Firaq, 165.
Artikel asli: https://almanhaj.or.id/2856-mengapa-menolak-khabar-ahad.html